TERNYATA...Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dipuji oleh Allah sebagai Imam Para Nabi pun bersikap tawadhu (rendah diri) di hadapan istri-istrinya, sampai-sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga.
Padahal sehari-harinya nabi memiliki kesibukan dan mobilitas yang sangat
itnggi menunaikan kewajiban menyampaikan risalah Allah Azza wa Jalla dan kesibukan mengatur kaum muslimin.
Aisyah mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sibuk membantu istrinya dan jika tiba waktu salat maka ia pun pergi menunaikannya.”
Imam Al-Bukhari mencantumkan perkataan Aisyah ini dalam dua bab di dalam sahihnya, yaitu Bab Muamalah Seorang (suami) dengan Istrinya dan Bab Seorang Suami Membantu Istrinya.
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apa yang diperbuat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
jika ia bersamamu di rumah?”, Aisyah menjawab, “Ia melakukan seperti
yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya,
ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di
ember.”
Dalam Syama’il karya At-Tirmidzi terdapat tambahan, “Dan memerah susu kambingnya…”
Ibnu Hajar menerangkan faidah hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini
menganjurkan untuk bersikap rendah hati dan meninggalkan kesombongan
dan hendaklah seorang suami membantu istrinya.”
Sebagian suami ada yang merasa rendah diri dan gengsi jika membantu
istrinya mencuci, menyelesaikan urusan rumah tangga. Kata mereka, tidak
ada istilahnya lagi, nyuci baju sendiri, merapikan rumah yang tidak
bersih, dan jahit baju sendiri. Seolah-olah mereka menjadikan istri
seorang pembantu dan memang tugasnyalah melayani suami. Apalagi jika
mereka adalah para suami berjas berpenampilan necis, pekerjaan seperti
ini tentu tidak lauak dan tidak pantas mereka kerjakan. Atau mereka
merasa ini hanyalah tugas ibu-ibu dan para suami tidak pantas dan tidak
layak untuk melakukannya.
Berikut ini beberapa kisah yang menunjukkan tawadhu’nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan istri-istrinya,
Dari Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Nabi halallahu ‘alaihi wa sallam
di tempat salah seorang istrinya maka istrinya yang lain mengirim
sepiring makanan. Maka istrinya yang sedang bersamanya ini memukul
tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah sehingga makanan
berhamburan. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ibu kalian cemburu…”
Perhatikanlah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali
tidak marah akibat perbuatan istrinya yang menyebabkan pecahnya piring.
Nabi tidak mengatakan, “Lihatlah! makanan berhamburan!!, ayo kumpul
makanan yang berhamburan ini!. ini adalah perbuatan mubadzir!” Akan
tetapi ia mendiamkan hal tersebut dan membereskan bahkan dengan rendah
hati nabi langsung mengumpulkan pecahan piring dan mengumpulkan makanan
yang berhamburan, padahal di sampingnya ada seorang pembantu.
Tidak cukup sampai di situ saja, nabi juga memberi alasan untuk
membela sikap istrinya tersebut agar tidak dicela. Nabi mengatakan, “Ibu
kalian sedang cemburu.”
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan
rumah tangganya dengan tenang dan bijak, bagaimanapun beratnya
permasalahan tersebut. Beliau juga mampu menenangkan istri-istrinya jika
timbul kecemburuan diantara mereka. Sebagian suami tidak mampu
mengatasi permasalahan istrinya dengan tenang, padahal istrinya tidak
sebanyak istri rasulullah dan kesibukannya pun tidak sesibuk rasulullah.
Bahkan di antara kita ada yang memiliki istri cuma satu orang pun tak
mampu mengatasi permasalaha antara dia dan istrinya.
Ibnu Hajar mengatakan, “Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘ibu kalian cemburu’ adalah udzur dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
agar apa yang dilakukan istrinya tersebut tidak dicela. Rasulullah
memaklumi bahwa sikap tersebut biasa terjadi di antara seorang istri
dengna madunya karena cemburu. Rasa cemburu itu memang merupakan tabiat
yang terdapat dalam diri (wanita) yang tidak mungkin untuk ditolak.”
Ibnu Hajar juga mengatakan, “Mereka (para pensyarah hadis ini)
mengatakan, bahwasanya pada hadis ini ada isyarat untuk tidak menghukum
wantia yang cemburu karena sikap kekeliruan yang timbul darinya. Karena
tatkala cemburu, akalnya tertutup akibat kemarahan yang dikobarkan oleh
rasa cemburu. Abu Ya’la mencatat sebuah hadis dengan sanad yang hasan
dari Aisyah secara marfu’ “Wanita yang cemburu tidak bisa membedakan bagian bawah lembah dan bagian atasnya.”
Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Allah menetapkan rasa cemburu pada para wanita, maka barangsiapa
yang sabar terhadap mereka, maka baginya pahala orang mati syahid.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazar dan ia mengisyaratkan akan sahihnya
hadis ini. Para perawinya tsiqoh (terpercaya) hanya saja para ulama memperselisihkan kredibilitas seorang perawi yang bernama Ubaid bin AS-Sobbah.
Dari Anas bin Malik, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi Khaibar, tatkala Allah mengilhamkan rasa tengan dalam jiwanya
untuk menaklukkan benteng Khaibar, sampai sebuah kabar kepada beliau
tentang kecantikan Shafiah bin Huyai bin Akhthab dan suami Shafiah pada
saat itu telah tewas dengan usia pernikahan mereka yang masih dini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun meminangnya untuk
menjadi istrinya. Kemudian beliau mengadakan perjalanan pulang menuju
Madinah.” Anas melanjutkan, “Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan kelambu di atas unta untuk Shafiah lalu beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
duduk di dekat unta lalu meletakkan lutut, lalu Shafiah menginjakkan
kakinya di atas lutut beliau untuk naik di atas unta.” Adakah seorang
suami yang mungkin berbuat hanya setengah dari usaha yang dilakukan
Rasulullah, seperti membukakan pintu mobil untuk sang istri, membawakan
belanjaannya, dsb. Tentunya hal ini tidak banyak kita dapati.
Perhatikanlah perlakuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedemikian tawadhu dan bersikap romantis terhadap istri-istrinya di hadapan orang banyak tanpa rasa gengsi dan canggung. Inilah sebuah qudwah sri teladan untuk para sahabat yang melihat kejadian itu dan untuk kita semua.
Romantisme Rasulullah Bersama Istri-Istrinya
Perhatikan kisah romantisme Rasulullah bersama istrinya Aisyah.
Aisyah mengatakan, “Orang-orang Habasyah masuk ke dalam masjid untuk
bermain (latihan berpedang), maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku ‘wahai khumaira (panggilan saying untuk Aisyah), apakah engkau ingin meihat mereka?’, aku menjawab, ‘iya’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berdiri di pintu, lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku
di atas pundaknya kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. (setelah
agak lama) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
bertanya, ‘sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)’, aku menjawab,
‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’, lalu beliau (tetap) berdiri
untukku agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia bertanya lagi,
‘sudah cukup’, aku pun menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan
terburu-buru’. Aisyah berkata, ‘Sebenarnya aku tidak ingin terus melihat
mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana
kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam”
Lihatlah bagaimana tawadhu-nya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
untuk berdiri menemani Aisyah menyaksikan permainan orang-orang
Habasyah, bahkan beliau terus berdiri hingga memenuhi keinginan Aisyah
sebagaimana perkataan Aisyah dalam riwayat yang lain, “Hingga akulah
yang bosan (melihat permainan mereka).”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak segan-segan
memberikan waktunya kepada istrinya untuk memenuhi keinginan istrinya
karena beliau adalah orang yang paling lembut kepada istri dalam segala
hal selama masih dalam perkara-perkara yang mubah.
Renungkanlah kisah yang dituturkan oleh Aisyah berikut ini,
“Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
pada saat safar beliau (untuk melawan kaum Yahudi kabilah bani
Mushthaliq), hingga tatkala kami sampai di Al-Baidaa di Dzatulijaisy
kalung milikku terputus maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang bersamanya
pun ikut berhenti mencari kalung tersebut, padahal mereka tatkala itu
tidak dalam keadaan bersuci. Maka orang-orang pun pada berdatangan
menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa
yang telah diperbuat Aisyah? Ia menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan suci (dalam
keadaan berwudu). Maka Abu Bakar menemuiku dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
sedang berbaring meletakkan kepalanya di atas pahaku dan buliau telah
tertidur. Lalu ia berkata, ‘engkau telah menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
berhenti padahal orang-orang dalam keadaan tidak bersuci dan mereka
tidak memiliki air’. Aisyah berkata, ‘Abu bakar mencelaku dan berkata
dengan perkataannya lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Dan
tidaklah mencegahku untuk bergerak kecuali karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bangun tatkala subuh dalam keadaan tidak bersuci lalu Allah turunkan
ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah
awal barokah kalian wahai keluarga Abu bakar.” Aisyah berkata, “Lalu
kami pun bersiap melanjutkan perjalanan, ternyata kalung itu berada di
bawah unta yang aku naiki tadi.”
Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
memberhentikan pasukan perangnya yang sedang berangkat untuk menyerang
orang-orang Yahudi hanya untuk mencari kalung Aisyah yang jatuh. Bahkan
disebutkan bahwa kalung Aisyah yang hilang itu nilainya murah, ada yang
mengatakan nilainya hanya dua belas dirham. Apalagi di tengah malam dan
para sahabat dalam keadaan tidak bersuci dan tidak membawa air. Ini
semua menunjukkan bagaimana perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tawadhu beliau kepada istri-istrinya.
Sangat disayangkan, sebagian suami sangat pelit terhadap istrinya,
bukan hanya pelit terhadap hartanya, bahkan pelit terhadap waktunya.
Seakan-akan waktunya sangat berharga sehingga tidak pantas untuk
dihabiskan bersama istrinya. Sering kita jumpai, ada suami yang tidak
sabar untuk menemani istrinya belanja, jalan-jalan, atau
kegiatan-kegiatan santai lainnya.
Sumber:Suami Idaman Istri Pilihan, Firanda, Pustaka Muslim
bagi-bagi wawasan gan, hati-hati duduk kelamaan. bisa kena penyakit Wasir atau AMBEIEN, Gak percaya. neeh Baca Klik Mengobati Wasir Tanpa Operasi
BalasHapus